buku mantap ne

buku mantap ne
Kisah orang gede

Penelusuran

Jefri_elFatih. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

PORNOGRAFI MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAH HUKUM POSITIF

A. Pornografi dalam Pandangan Hukum Islam
Tindak pidana dalam Islam sering disebut “jarimah” yang berarti:
محظورات شرعية زجرالله عنها بحد اوتعزير
Artinya: “Larangan larangan syara yang diancam oleh Allah swt dengan hukuman had atau ta’zir”
Para fuqoha juga sering memakai kata-kata”jinayah” yang dalam bentuk tunggalnya diambil dari kata “jana, yanjiy” yang berarti memetik, mengambil atau memungut, memperoleh, mendapat, berbuat dosa kejahatan, kejahatan , kriminal .
Dikalangan Fuqoha, yang dimaksud dengan kata-kata jinayah adalah :

الجناية اسم لفعل محرم شرعا ,سواء وقع الفعل على نفس اومال او غير ذلك.
Artinya : Perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (menguraikan) jiwa atau harta benda ataupun lain sebagainya”.
Adapun menurut istilah syara’ yang dimaksud dengan jinayah adalah setiap tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia sebagai memperkosa hak Allah swt, hak manusia itu sendiri dan hak makhluk lainnya. Yang menuntut adanya pembalasan atau hukuman.
1. Berikut diantara dalil Al-qur’an dan al-Hadist yang mengenai atau berkenaan dengan pornografi :
وليستعفف الذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيهم الله من فضله والذين يبتغون الكتب ممّا ملكت ايمنكم فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا وءاتوهم من مال الله الذى ءاتكم ولاتكرهوا فتيتكم على البغاء ان اردن تحصّنا لتبتغوا عرض الحيوة اللدنيا ومن يكرههّنّ فانّ الله من بعد اكرههنّ غفوررهم(33)





Artinya: (1) Dan diantara orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sehingga Allah swt memampukan mereka dengan karunia-Nya, dan budak-budak yang kamu miliki yang menginginkan perjanjian , hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka (2), Jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah swt yang dikaruniakan_Nya kepadamu (3) dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari kauntungan duniawi, dan dan barang siapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah swt adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu (4) (Q.S an-Nur: 33)

يبنى ءادم قد انزلنا عليكم لباسا يورى سوءتكم وريشا ولباس التقوى ذلك خير ذلك من ءايت الله لعلهم يذّكّرون

Artinya: Hai anak Adam (umat manusia), sesungguhnya kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.dan pakaian takwa (selalu bertaqwa kepada Allah).itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah SWT Mudah-mudahan mereka selalu ingat. (Q.S al-Araf: 26)
2. Perintah Menutup Aurat
Aurat merupakan bahasa Arab yang berarti (عور),kemaluan(عورة سوءة), cacat,cela,segala perkara yang dirasa malu (عورة:كل امر يستحى). Aurat adalah yang berarti anggota yang tidak baik membukanya atau segala sesuatu yang tak membuat malu . Sedangkan menurut istilah aurat adlah sesuatu yang wajib ditutupi dalam shalat dan sesuatu yang haram untuk dilihat . Menurut Abi syuja aurat adalah sesutu ketentuan (batasan) yangwaajib ditutupi dan ketentuan tersebut berbeda laki-laki,perempuan,budak,dan sebagainya.
Ulama sepakat bahwasanya aurat laki-laki ialah anggota tubuh yang terdapat diantara pusar dan lutut,dan oleh karena itu diboleh kan melihat seluruh badannya kecuali yang tersebut diatas. Bila demikian itu tidak menimbulkan fitnah.
Mengenai batas aurat wanita ad beberapa pendapet para ulama, yaitu:
a). Menurut jummhur ulama. Seperti al-Tthabari,al-Qurthubi,dan lainnya, bahwa aurat wanita itu adalah seluruh tubuhnya keculi wajah dan telapak tangan. Sehingga kaki merupakan aurat yang tidak boleh diperlihat kan kepada selain muhrimnya.
b). Al-Malikiyah dalm kitab “Al-Shagir” atau sering disebut kitab Aqrabul Masalik ilaa madzhabi maalik, susunan Al-Dairiri ditulis bahwa batas aurat wanita mwerdeka dengan laki-laki Ajnabi (yang bukan mahram) adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan.
c). Namun sebagian ulama al-Hanafiyah dan khususnya imam abu Hanifah mengatakan bahwa yang tremasuk bukan aurat adalah wajah, telapak tanagan, dan kaki. Kaki yang dimaksid bukan dari pang kal paha tapi yang dalam bahasa arab disebut qodam. Yaitu dari tumit kebawah.
Apabila aurat itu sengaja atau tidak ditampilkan, akan mengakibatkan birahi dan memancing lawan jenis umtuk berhubungan intim. Bagi wanita,nyaris seluruh tubuh dan bergeraknya mengandung muatan seks. Sementara bagi laki-laki justru hanya sebagian kecil tubuhnya dan gerakan tubuhnya yang biasa dikatagorikan aurat.

A. Pengertian Pornografi
Terdapat beberapa pengertian yang berbeda yang diberikan atas apa yang dimaksud dengan pornografi. Penulis dalam hal ini memberikan beberapa pendapat para ahli mengenai Istilah Pornografi, yaitu antara lain:
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa pornografi berasal dari kata Pronos yang berarti melanggar kesusilaan atau cabul dan grafi yang berarti tulisan, dan kini meliputi juga gambar atau barang pada umumnya yang berisi atau menggambarkan sesuatu yang menyinggung rasa susila dari orang yang membaca atau melihatnya.
Menurut Andi Hamzah, pornografi berasal dari dua kata, yaitu Porno dan Grafi.Porno berasal dari bahasa Yunani,Porne artinya pelacur, sedangkan grafi berasal dari kata graphein yang artinya ungkapan atau ekspresi. Secara harfiah pornografi berarti ungkapan tentang pelacur. Dengan demikian pornografi berarti:
a. Suatu pengungkapan dalam bentuk cerita-cerita tentang pelacur atau prostitusi;
b. Suatu pengungkapan dalam bentuk tulisan atau lukisan tentang kehidupan erotik, dengan tujuan untuk menimbulkan rangsangan seks kepada yang membaca, atau yang yang melihatnya.
Selanjutnya seorang sastrawan Indonesia, HB Jassin mengartikan pornografi sebagai suatu tulisan atau gambar yang dianggap kotor, karena dapat menimbulkan perasaan nafsu seks atau perbuatan immoral, seperti tulisan-tulisan yang sifatnya merangsang, gambar-gambar wanita telanjang dan sebagainya.
Menurut pandangan agama Islam Pornografi adalah produk grafis (tulisan, gambar, film)-baik dalam bentuk majalah, tabloid, VCD, film-film atau acara-acara di TV, situs-situs porno di internet, ataupun bacaan-bacaan porno lainnya-yang mengumbar sekaligus menjual aurat, artinya aurat menjadi titik pusat perhatian
Melalui beberapa definisi yang saya coba kumpulkan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pengertian dari pornografi berbeda antara pendapat yang satu dengan yang lain. Hal ini disebabkan sifatnya yang relatif, artinya tergantung pada waktu, tempat, pribadi manusia serta kebudayaan suatu masyarakat yang berusaha mendefinisikan istilah pornografi itu sendiri. Namun terdapat kesamaan unsur yang termaksud dalam suatu hal yang dikategorikan pornografi.
B. Dampak Pornografi
Pornografi dan pornoaksi telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi masyarakat bangsa Indonesia, terutama generasi muda baik terhadap prilaku, moral (Akhlak), maupun terhadap sendi- sendi serta tatanan keluarga dan masyarakat beradab, sepperti pergaulan bebas, perselingkuhan, kehamilan dan kelahiran anak diluar nikah,aborsi, penyakit kelamin, kekerasan seksual, dan lain sebagainya.
Adapun isi fatwa Majelis Ulama Indonesia nomor 287 tahun 2001 tentang pornografi dan pornoaksi adalah:
a) Bahwa menggambarkan secara langsung atau tidak langsung tingkah laku secara erotis, baik dengan lukisan, gambar, tulisan, suara, reklame, iklan, maupun ucapan; baik melalui media cetak maupun elektronik yang dapat mengakibatkan nafsu birahi adalah haram
b) Membiarkan aurat terbuka dan atau berpakaian ketat atau tembus pandang dengan maksud untuk diambil gambarnya, baik untuk dicetak maupun divisualisasikan adalah haram
c) Melakukan pengambilan gambar sebagai mana dimaksud pada langkah-langkah adalah haram.
d) Melakukan hubungan seksual atau adegan seksual dihadapan orang, melakukan pengambilan gambar hubungan seksual atau adegan seksual baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain dan melihat hubungan seksual adlah haram
e) Memperbanyak, mengedarkan, menjual, maupun membeli dan melihat atau memperhatikan gambar orang, baik cetak atau visual yang terbuka auratnya atau berpakaian ketat tembus pandang yang dapat membangkitkan nafsu birahi, atau gambar hubungan seksual adalah haram
Berkenan dengan keluarnya fatwa MUI terebut merupakan satu tobosan hukum. Walaupun hanya sebatas fatwa dan bukan merupakan produk hukum konvensonal atau hukum positif yang bisa diterapkaan kepada semua masyarakat Indonesia, akan tetapi fatwa tersebut sangat dibutuh kan bagi masyarakat Islam sebagai pegangan dalam kehidupan dan dalam bersikap. Walaupun pornogarafi dan pornoaksi tidak disebutkan, akan tetapi hukum islam adlah hukum yang tidak statis, akan tetapi hukum islam dapat mengatasi dan sesuai dalam setiap perubahan zaman,dalam ushul fiqih disebutkan:
لا ينكر رتغيّر اللا حكام بغيّر اللازمان
“Tidak dapat diingkari adnya perubahan hukum larangan beubahnya masa”
Maksud dari kaidah ini adalah bahwa setiap perubahan masa, menghendaki kemaslahatan yang sesuai dengan keadaan masa itu.Hal ini mempunyai pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan suatu hukum yang didasakan pada memaslahatan itu.
B. Pornograpi yang diatur dalam KUHP
Sebagaimana diketahui bahwa KUHP kita merupakan saduran dari WvS Belanda yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, dan tindak pidana pornografi tersebut diaturvdalam bab tintak pidana kesusilaan. Kalau diperhatikan KUHP kita mengaatur tindak pidana porngrafi tanpa adaa kata-kata pono, cabul, tindak senonoh dan seterusnya, melaikan hanya menyebutkan senagai perbuatan “melanggar kesusilaan”, sedangkan pengertian “melanggar kesusilaan” itu pun diserahkan kepada ilmu pengetahuan dan yurisprudensi untuk menegaskannya. KUHP Indonesia mengatur delik porngrafi tanpa menyebutkan kata-kata pornografi, tetapi menyebutnya perbuatan“melanggar kesusilan”(aanstotelijk voor de eerbarheid) (Hamzah,Andi 1987;31)

Selengkapnya »»
Category: 1 komentar

Sebab Sebab Perbedaan di Dalam Hukum Islam

A. Pengertian perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf, secara lingusitik dalam kajian bahasa Inggris, dapat diterjemahkan beraneka ragam, difference of opinion, distinction atau controvercy. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam, kata contovercy lebih tepat.
Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang diseebabkan oleh akal fikiran. Perbedaan yang diseebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’u dzon dengan orang lain, fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertent. Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela .
Adapun perbedaan yang disebabkan akal fikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang Syari’at Islam, atau bersifat akidah, politik, dan lain-lain. Perbedaan pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman, situasi dan kondisi, baik bersifat positif atau negatif.
Maka perbedaan dalam fiqh merupakan sesuatu hal yang pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam ddan kehidupan. Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki bersatunya semua orang dalam satu pendapat di bidang hukum-hukum ibadah, muamalah dan lain-lain dari cabang agama Islam, maka berarti ia menginginkan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Bahkan perbedaan dalam fiqh ini dianggap rahmat oleh mayoritas ulama dengan merujuk salah satu hadist Nabi SAW yang dikeluarkan Imam al-Suyuthi dalam “al-Jami’ al-Shogir” : ”ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan antar umat-umatku adalah suatu rahmat).
Ikhtilaf fiqhi ini, tidak hanya dianggap sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqh itu sendiri di masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya.
Namun sayang ada sebagian kelompok umat Islam yang tidak mengetahui hal ini atau pura-pura tidak mengetahuinya. Mereka tidak menganggap perbedaan umat Islam sebagai rahmat; mereka mengklaim bahwa kelompok dan ibadah mereka yang paling benar; mereka membid’ahkan ibadah kelompok lain, mencacinya, mengkritiknya bahkan mengkafirkannya; mereka menganggap dirinya sebagai satu-satunya kelompok ahlus sunnah wal jama’ah yang sesuai dengan ulama salaf (lampau), sehingga mereka menamakan dirinya dengan Jama’ah Salafiyah atau Kaum Salafi .
B. Sebab-sebab terjadinya Ikhtilaf
Dalam hukum kausalitas, ”ada sebab, ada akibat”. Begitu pula, dalam Ikhtilaf. Tidak mungkin ada Ikhtilaf, jika tidak ada penyebabnya. Dalam hal ini, penyebab itu adalah faktor-faktor yang mempengaruhi para ulama dalam menggali hukum Islam sehingga berbeda dengan ulama lainnya.
Karena sumber hukum Islam pada masa sahabat sepeninggalan Nabi SAW adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad Sahabat (termasuk bagian dalam Ijtihad ialah Qiyas, Ra’yu dan Ijma’ ), maka sebab-sebab perbedaan pendapat di kalangan Ulama juga dapat dikempokkan menjadi tiga kategori:
1. al-Qur’an
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang diakibatkan sumber pertama ini, antara lain karena sebagai berikut:
 sebab adanya kontadiksi antar sesama nash-nash al-Qur’an dan adanya upaya Ulama’ untuk mencegah pertentangan itu (dengan ijtihad tentunya), seperti perbedaan ‘Iddahnya wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
 Disebabkan karena perbedaan dalam memahami ayat-ayat mujmal (global), seperti perbedaan ‘Iddahnya wanita yang ditalaq dalam keadaan haid.
 Disebabkan karena sebahagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih memilih makna yang tersirat (kontekstual), seperti perbedaan pendapat antara Ibn Abbas dan Zaid Ibn Tsabit dalam hal waris.
 Sebab sebagian sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan atau menganggap nash lain sebagai peng-takhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.
 Sebab perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.
2. As-Sunnah
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dalam menyikapi Sunnah-sunnah Rasul saw, baik qauliyah, fi’liyah, taqririyah atau hammiyah sebagai sumber hukum dapat dikelompokkan menjadi enam faktor penyebab , yaitu:
 Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yu-nya. Jika demikian, ada empat akibat, yaitu (a) Ijtihadnya akan sama dengan hukum asli. (b) ulama akan Taroju’ (menarik kembali fatwa ijtihadnya). (c) bertentangnya hasil Ijtihad dengan hadist yang baru didengarnya. (d) tidak sampai kepadanya hadist sama sekali atau tidak mendengar bantahan ijtihadnya dari sahabat yang lain yang memiliki bukti hadist tertentu.
 Antara mereka sama-sama melihat perbuatan Nabi SAW (hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menganggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.
 Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
 Perbedaan persepsi antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (sunnah Qauliyah).
 Perbedaan dalam menentukan illat hukum suatu Sunnah.
 Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunnah yang saling kontradiktif.
 Perbedaan kuantitas dan kualitas hafalan sunnah-sunnah Nabi diantara para Ulama
3. Ijtihad
Ijtihad yang dilandaskan pada pemakaian ra’yu untuk menyempurnakan ijtihad fiqh yang berlangsung pada periode ini tidak bias terelakkan, karena nash-nash sangat terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu banyak, tidak berhentikan sebatas nash yang ada, sehingga sahabat harus mengembalikan permasalahan-permasalahan itu kepada arahnya (yang baru), agar diperoleh hukum kebenaran. Mereka melakukan itu dengan mencari petunjuk melalui tujuan-tujuan syara’ yang universal (maqashid al-Syari’ah al-‘Ammah) serta prinsip-prinsip umum (mabadi Kulliyah).
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu Ijtihad dengan ra’yu ini tidak bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka, berbagai hal termasuk ra’yu-nya atau pandangan intelektualitasnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya. Yang samuanya ini diilhami oleh ijtihadnya Nabi saw sendiri dan pemahaman mereka akan maqashid syari’ah juga keshahihan atau kejelian pandangan mereka terhadap mashlahat manusia, sehingga mereka tidak mungkin keliru dalam memandang suatu kemaslahatan. Ikhtilaf antara mereka dalam berijtihad bermuara pada masalah-masalah yang tidak terdapat nash yang pasti, kemudian mereka menetapkan hukumnya dengan mengqiyaskan kepada sesuatu yang manshush (mempunyai nash ) atau memasukkannya ke dalam kaidah umum atau dengan memperhatikan kemaslahatan manusia yang di ketahui dan diyakini mereka bahwa syara’ sangat memberi perhatian dan selalu menjaga kemaslahatan itu.
Di antara sahabat Nabi saw yang pandai dan terkenal dalam mengunakan ra’yunya (ijtihad) adalah Ali bin abi Thalib, Abu Bakar,Umar bin Khotob,Ustman bin Affan,abdullah bin mas,ud,Zaid bin Tsabit,Mu’az bin Jabal ban lain-lain.

Selain tiga faktor diatas, juga terdapat sebab yang lain , yaitu:
>Perbedaan Qawa’id Ushuliyya
Sebab-sebab yang yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul diantaranya mengenai istisna,yakni:
Jumhur Fuqaha berpendapat,bahwa istisna(pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah,istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhir saja.
Bagi yang berpendapat bahwa istsna itu kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus didikenakan hukuman dera dan belum bisa dijadikan saksi. Adapun yang berpendapat kedua,yang menyatakan bahwa istisna kembali kepada semuanya,orang yang sudah taubat itu tidak lagi inyatakan fasik,dan juga juga dikembalikn haknya untukmenjadi saksi;tetapi masih tetap dihukum dera, karena hukuman dera ini menyangkut hak adami (manusia) yang tidak bisa diguguran dengan taubat.



Selengkapnya »»
Category: 1 komentar

Sumber Sumber Hukum

1. Sumber-sumber Hukum
1.1. Pengertian sumber hukum
Pada hakikatnya sumber hukum adalah rasa keadilan. Tetapi sumber hukum juga banyak di pakai dalam arti; tempat-tempat dari mana kita dapat mengetahui hukum yang berlaku, Tempat-tempat dari mana kita mengambil peraturan hukum yang harus diterapkan. Dengan demikian, maka dapat di rumuskan bahwa sumber hukum ialah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan hukum yaitu aturan-aturan yang mempunyai kekuasaan hukum yang bersifat memaksa dan mempertahankan dengan sanksi.
1.2. Pembagian Sumber Hukum
Sumber-sumber hukum dapat di bedakan dalam:
1. Sumber hukum yang historis, yaitu stelsel-stelsel hukum masa lampau, yang turut serta dalam membentuk hukum yang berlaku sekarang, seperti:
a. Code Civil untuk pembuatan Kitab Undang-undang Hukum Sipil
b. Dokumen-dokumen, surat-surat, dan keterangan lain yang memungkinkan untuk mengetahui hukum yang berlaku pada masa tertentu, bukan sumber hukum dalam arti sesungguhnya, tetapi bahan untuk mengetahui hukum
2. Sumber hukum yang filosofis, yaitu asas atau dasar mengapa hukum itu dipatuhi dan mempunyai kekuatan mengikat dan daya manusia yang menghasilkan hukum itu. Menurut Hogu de groot, terdiri dari:
a. Akal manusia (redo)
b. Tuhan Yang Maha Esa.
Kemudian, sumber hukum juga dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sumber hukum material,
yaitu perasaan hukum dan keyakinan hukum individu serta pendapat umum yang menentukan isi dari hukum. Keyakinan hukum individu adalah keyakinan mengenai patokan–patokan yang tetap mengenai keadilan yang harus ditaati oleh para pembentuk undang–undang atau para pembentuk hukum dalam melaksanakan tugasnya. Sedangkan pendapat hukum adalah pendapat masyarakat mengenai hal – hal yang benar–benar hidup dalam masyarakat dan diakui sebagai aturan atau petunjuk hidup yang berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Dalam hubungan ini isi di tentukan oleh:
a. Faktor idiil;
b. faktor kemasyarakatan
faktor idiil adalah pedoman yang tetap dan harus di ikuti oleh pembentuk undang-undang atau badan-badan Negara lainnya dalam melakukan tugasnya, yaitu keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah tempat dimana dapat ditemukan peraturan-peraturan atau ketentuan – ketentuan hukum positif tersebut, dengan tidak mempersoalkan asal usul isi dari peraturan hukum itu.
Sumber-sumber hukum formal dari hukum positif, antara lain:
A. Undang-undang termasuk,termasuk UUD.
Undang-undang adalah suatu peraturan hukum yang di susun dan ditetapkan oleh negara berlaku bagi masyarakat yang berangkutan.
Undang-undang dapat dibedakan menjadi dua macam arti: undang-undang dalam arti materiil dan Undang-undang dalam arti formil. Undang-undang dalam arti materiil di sebut juga undang-undang dalam arti luas (peraturan), sedangkan Undang-undang dalam arti formil di sebut juga undang-undang dalam arti sempit (undang-undang).
Di negeri Belanda menurut prof. Buys: Undang-Undang itu mempunyai dua arti, yaitu: Undang-undang dalam arti formil, dan undang-undang dalam arti meteriil.
Undang-undang dalam arti formil, contohnya: Undang-undang APBN (pasal 23 ayat (1) undang-undang dasar 1945); undang-undang No. 62 tahun 1958 tentang naturalisasi,sebab meskipun menurut bentuknya dibuat oleh pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, namun isinya hanya mengikat kepada orang yang bersangkutan, yaitu orang yang dinaturalisasikan saja.
Undang-undang dalam arti materiil, adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa (pusat mapun daerah) yang sah, misalnya undang-undang,peraturan pemerintah,keputusan presiden, peraturan daerah, dan sebagainya.
B. Kebiasaan (convention)
Kebiasaan adalah suatu tata cara hidup yang di anut oleh suatu masyarakat atau suatu bangsa dalam waktu yang lama pada hakekatnya memberikan pedoman bagi manyarakat atau bangsa yang bersangkutan atau berfikir dan bersikap dalam menghadapi berbagai hal dalam kehidupannya.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan di perlukan syarat-syarat sebagai berikut:
1. Harus ada perbuatan atau tindakan semacam itu dalam keadaan yang sama dan harus selalu di ikuti oleh umum, tidak harus diketahui seluruh rakyat yang ikut menimbulkan kebiasaan itu, tetapi hanyalah golongan-golongan orang yang berkepentingan saja.
2. Harus ada keyakinan hukum dari golongan orang-orang yang berkepentingan.
Hukum kebiasaan ini dapat dibedakan dalam hukum kebiasaan masyarakat, hukum kebiasaan golongan-golongan kemasyarakatan, hukum kebiasaan hakim (pengadilan), hukum kebiasaan internasional yang mendapatkan sumbernya dari kebiasaan-kebiasaan, sebagai contohnya;
a. Kebiasaan orang Bali yang mengharuskan sebagai hukum upacara pembakaran mayat yang meninggal (ngaben).
b. Kebiasaan orang dayak mengharuskan perkawinan dilaksanakan melalui system endogami .
c. Kebiasaan orang batak yang melarang terjadinya pertukaran pengantin antara dua marga dalam system perkawinan mereka.

C. Perjanjian (Traktat)
Traktat adalah suatu perjanjian yang di adakan oleh dua Negara atau lebih yang isinya mengatur masalah-masalah tertentu yang berkenaan dengan kepentingan masing-masing Negara, misalnya; kepentingan batas wilayah (darat, laut, udara), hubungan diplomatik, kepentingan perekonomian, pertahanan keamanan bersama, dan sebagainya.
Traktat itu ada beberapa macam, yaitu traktat bilateral dan traktat multilateral, kemudian ada yang dinamakan dengan traktat kolektif. Traktat bilateral ialah suatu perjanjian yang di adakan antara dua Negara tertentu dan hanya berlaku bagi kedua Negara yang bersangkutan, contonya: perjanjian antara pemerintah republic Indonesia dan republic Rakyat Cina mengenai penyelesaian masalah Dwi Kewarganegaraan tahun 1955.
Traktat multilateral ialah suatu perjanjian yang di adakan oleh lebih dari dua Negara mengenai masalah-masalah tertentu yang mereka hadapi bersama, contohnya: perjanjian pertahanan bersama Negara-negara (NATO) yang di adakan oleh beberapa Negara Eropa perjanjan masalah perminyakan antara Negara-negara OPEC, perjanjian masalah perekonomian antara Negara-negara ASEAN, dan sebagainya.
Traktat kolektif terbuka ialah perjanjian antara beberapa Negara, Negara-negara yang bergabung itu memberi kesempatan kepada Negara lain untuk ikut bergabung, contohnya: Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Traktat kolektif tertutup yaitu perjanjian antara beberapa Negara, Negara-negara yang bergabung itu tidak memberikan kesempatan kepada negara lain untuk ikut bergabung menjada anggota.
Terjadinya suatu perjanjian (traktat) itu menurut pendapat klasik harus melalui prosedur tertentu, yaitu melalui 4 (empat) fase, sebagai berikut:
a. Dibuat penetapan (sluiting) ialah penetapan isi perjanjian oleh utusan/delegasi pihak-pihak yang bersangkutan.
b. Persetujuan masing-masing parlemen pihak yang bersangkutan.
c. Ratifikasi.
d. Tukar-menukar piagam perjanjian, saling menyampaikan piagam perjanjian. Perbuatan ini disebut pengumuman atau pelantikan.

D. Keputusan hakim(yurisprudensi)
Yurisprudensi merupakan suatu sumber hukum yang formal, Keputusan Hakim (yurisprudensi) ini berasal dari kata “jurisprudential” (bahasa latin), yang berarti pengetahuan hukum. Yurisprudensi sebagai istilah teknis Indonesia sama artinya dengan “jurisprudence” (dalam bahasa prancis) dan “jrisprudentie” (dalam bahasa Belanda).
Istilah yurisprudensi berarti teori ilmu hukum (Algemene Rechtsleer, General Theory of Law), untuk pengertian yurisprudensi disebut istilah Case Law atau Judge Made Law. Kata “jurisprudenz” (Bahasa Jerman) berarti ilmu hukum dalam arti sempit.
Yurisprudensi menurut ahli hukum sebagai berikut:
a. Menurut A. Ridwan Halim, S.H. Yurisprudensi ialah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam Undang-Undang, yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yan mengadili kasus atau perkara-perkara yang serupa.
b. Menurut Drs. C.S.T. Kansil, S.H. yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
c. Menurut R. Otje Salman, S.H. hukum yurisprudensi, yakni Hukum yang dibentuk dalam keputusan Hakim pengadilan.

E. Pendapat ahli hukum yang terkemuka (doktrin)
Kata “doctrine” (dalam bahasa belanda) adalah pendapat para ahli hukum yang ternama kemudian diterima sebagai dasar atau asas-asas penting dalam hukum dan penerapannya atau disebut ajaran kaum sarjana hukum.
Pendapat para sarjana hukum yang terkemuka ini mempunyai kekuasaan dan berpengaruh juga dalam pengambilan keputusan oleh hakim, karena masih merupakan suatu sumber hukum yang sangat penting.
Doktrin (pendapat ahli hukum) terkemuka contohnya;
a. Doktrin Trias Politica dari Montesquieu (Orang Prancis) mengatakan:
1. Kekuasaan Negara hendaknya dibagi menjadi 3 (tiga) lembaga,yaitu:
a. Lembaga legislative,yang bertugas sebagai pembuat Undang-Undang.
b. Lembaga eksekutif,yang bertugas sebagai pelaksana Undang-Undang.
c. Lembaga Yudikatif,yang bertugas sebagai pengawas pelaksanaan Undang-Undang.
2. Di antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lainnya harus terpisah, tidak boleh terdapat hubungan kerja sama.
b. Doktrin Mazhab Sejarah dipelopori Carl Von Savigny (orang Jerman) mengatakan bahwa hukum itu bukanlah dibuat oleh manusia, melainkan hukum itu ada dan tumbuh bersama-sama dengan ada dan tumbuhnya (berkembangnya) masyarakat.
c. Doktrin dasar berdirinya Liga Bangsa-bangsa yang disponsori oleh Woodrow Wilson’s Fourteen Point’s, pada dasarnya menggariskan untuk memudahkan tercapainya dan perdamaian dunia diperlukan adanya kerja sama dan perserikatan bangsa-bangsa dengan hubungan diplomasi-diplomasi yang terbuka.
Di dalam Hukum Islam bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah juga ijtihad (doktrin) menjadi sumber hukum islam, seperti ijtihad (doktrin) Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asyafe’I, Imam Ahmad Ibnu Hanbal, Imam Daud Adhoriri dan Imam Ibnu Hazmi Al-Andalusia, Imam Ja’far Ashoodik, mengenai hukum perkawinan, hukum waris, dan sebagainya.
Sumber hukum menurut ahli agama islam diurutkan sebagai berikut: Al-qur’an, As-sunnah, Ijtihad, Kemudian ijma, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, uruf, istishab, asyar’un man qoblana, mazhab shohabi, saddzudzri’ah dan fathudzdzari’ah dan lainnya digunakan dan ditempatkan sebagai metode ijtihad.
Pancasila menjadi asas-asas kenegaraan Negara Indonesia dan bagi perundang-undangan hukum Indonesia suatu “Grundnorm” yaitu suatu kaidah dasar (pokok). Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum Negara Indonesia.
2. Penafsiran Hukum
Penafsiran atau interpretasi hukum adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasarkan pada kaitannya.

Ada beberapa metode penafsiran hukum yang lazim diterapkan yaitu:
a) Penafsiran Gramatikal
Penafsiran gramatikal adalah penafsiran menurut tata bahasa atau kata-kata
b) Penafsiran Historis
Penafsiran cara ini adalah meneliti sejarah dari undang-undang yang bersangkutan
c) Penafsiran Sistematis
Penafsiran sistematis adalah penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal-pasal yang lain dalam satu perundang-undangn yang bersangkutan.
d) Penafsiran Sosiologis
Penafsiran sosiologis adalah penafsiran yang disesuaikan dengan keadaan masyarakat.
e) Penafsiran Otentik
Penafsiran otentik adalah penafsiran secara resmi. Penafsiran ini dilakukan oleh pembuat undang-undang sendiri atau oleh instansi yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dan tidak boleh oleh siapapun.
f) Penafsiran Perbandingan
Penafsiran perbandingan adalah suatu penafsiran dengan membandingkan antara hukum lama dan hukum positif yang berlaku saat ini


Selengkapnya »»
Category: 0 komentar

Pidana Anak Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

A. PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
1. Hukuman Pokok
Didalam islam telah ditetapkan hukum-hukum yang berkaitan tentang kemaslahatan manusia diantaranya yaitu mangatur tentang hukuman bagi orang yang mempermainkan agama. Orang yang mempermainkan agama (dalam hal ini adalah murtad) dijatuhkan hukuman jarimah riddah. Hukuman pokok untuk jarimah riddah adalah hukum mati dan statusnya sebagai hukuman had. Hal ini didasarkan hadis Nabi saw:
Dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah ia”. (Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari).
2. Pendapat para imam Madzhab
Didalam menangani sebuah kasus yang dilakukan oleh seorang anak yang belum bisa berfikir secara sempurna, maka diperlukan argumen argumen untuk dapat memutuskan perkara perkara tersebut secara bijak dan seeuai dengan koridor yang digariskan Islam. Berikut adalah pendapat pendapat para Imam Madzhab:
a. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak mumayiz yang murtad tidak dihukum mati dalam empat keadaan sebagai berikut.
a. Apabila Islamnya mengikuti kedua orang tuanya, dan setelah balig ia murtad. Dalam hal ini menurut qiyas, seharusnya ia dibunuh, tetapi menurut istihsan ia tidak dibunuh karena syubhat.
b. Apabila ia murtad pada masa kecilnya.
c. Apabila ia pada masa kecilnya Islam, kemudian setelah balig ia murtad. Dalam hal ini ia tidak dibunuh, berdasarkan istihsan, karena ada syubhat.
d. Apabila ia berasal dari negeri bukan Islam, yang ditemukan di negeri Islam. Dalam hal ini ia dihukumi sebagai anak Islam, karena mengikuti negara (Islam), sama halnya dengan anak yang dilahirkan di lingkungan kaum muslimin.
Sebagai pengganti dari hukuman mati yang tidak diterapkan kepada anak mumayiz dalam keempat keadaan tersebut, menurut Imam Abu Hanifah, ia dipaksa untuk menyatakan Islam, seperti halnya perempuan, dengan jalan ditahan atau dipenjara sebagai ta’zir.
b. Imam Malik
Menurut Imam Malik, anak mumayiz yang murtad harus dihukum bunuh apabila ia murtad setelah baligh, kecuali:
1) Anak yang menanjak remaja ketika ayahnya masuk Islam;
2) Anak yang ditinggalkan kepada ibunya yang masih kafir, baik ia (anak tersebut) sudah mumayiz atau belum.
Dalam dua keadaan ini, ia tidak dibunuh, melainkan dipaksa untuk kembali kepada Islam, dengan dikenakan hukuman ta’zir. Menurut mazhab yang lain, anak mumayiz tetap dihukum mati apabila setelah balig ia menjadi murtad. Dalam hal ini, statusnya disamakan dengan laki-laki atau wanita yang murtad.
Sesorang dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak berakal pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz, yang akalnya belum sempurna. Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, baligh (dewasa) bukan merupakan syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian murtadnya anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah. Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak kecil yang belum baligh riddahnya tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah diikuti oleh Imam Malik dan sebagian Hanabilah, sedangkan sebagian ulama Hanabilah yang lain mengikuti pendapat Imam Abu Yusuf. Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan beralasan bahwa anak yang mumayiz apabila menyatakan Islam hukumnya sah, demikian pula sebaliknya, apabila ia menyatakan murtad, hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan perbuatan nyata yang keluar dari hati sebagai salah satu anggota badan. Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukkan adanya kedua hal tersebut (iman dan kufur). Akan tetapi, Imam Abu Yusuf berargumentasi (beralasan) bahwa akal anak kecil dalam tasarruf yang betul-betul merugikan, dianggap tidak ada. Oleh karena itu, anak kecil talaknya tidak sah. Demikian pula memerdekakannya, dan pemberiannya, termasuk murtadnya, juga tidak sah, karena murtad termasuk tindakan yang merugikan. Adapun pernyataan iman dari anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, karena iman termasuk tindakan yang betul-betul menguntungkan. Itulah sebabnya, menurut Imam Abu Yusuf, Islamnya anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, tetapi murtadnya tidak sah.
c. Imam Syafi’i
Menurut fuqaha Syafi’iyah, murtadnya anak kecil dan Islamnya hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil sampai ia dewasa”.
Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah tetap mengakui keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya yang masuk Islam.
Adapun anak dari orang yang murtad, baik yang murtad itu bapaknya atau ibunya atau kedua-duanya, hukumnya tetap anak muslim. Setelah mereka dewasa dan tetap dalam keIslamannya maka ia betul-betul muslim. Akan tetapi, apabila setelah dewasa mereka kafir maka mereka (anak-anak) itu termasuk murtad, dan kepada mereka diberlakukan ketentuan-ketentuan orang yang murtad. Adapun anak yang dikandung dan dilahirkan oleh orang yang murtad maka ia duhukumi sebagai anak kafir, karena kedua orang tuanya kafir.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, apabila seorang ibu atau bapak masuk Islam maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi Islam, karena ia mengikuti orang tuanya. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anak mengikuti agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya masuk Islam maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi apabila ibunya masuk Islam, sedangkan bapaknya tidak maka anaknya tetap kafir, karena anak mengikuti bapaknya, tidak mengikuti ibunya.

3. Hukuman pengganti
Hukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan sebagai berikut:
a. Apabila hukuman pokok gugur karena tobat.
b. Apabila hukuman pokok gugur karena syubhat.

4. Hukuman tambahan
a. Penyitaan atau perampasan harta
b. Berkurangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf

B. PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
Didalam menentukan tindak pidana, terdapat klarifikasi mengenai usia, yaitu:
1. Batas Umur Anak yang Belum Dewasa.
Menurut pasal 45 KUHP, “ penuntutan pidana tidak dapat dilakukan terhadap seseorang yang belum dewasa (sebelum usia 16 tahun), jika bersalah melakukan tindakan pidana.” Dengan demikian pengertian dewasa adalah kebalikan dari apa yang disebutkan dalam pasal tersebut, yaitu yang sudah berumur 16 tahun keatas.
Menurut pasal 96 Nasran KUHP 1993, yang dimaksud dengan anak yang dapat dipertanggung Jawabkan pidana adalah yang berumur 12 tahun keatas, sedangkan anak yang berusia kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan tindak pidana atas tindakan atau perbuatannya yang bertentangan dengan hukum pidana.
Dalam rangka pembicaraan batasan usia anak ini, sebagai bahan perbandingan, disini dikemukakan tentang ketentuan dalam pasal 12 KUHP Philipina, yang menyatakan adanya peniadaan pidana karena kesalahan petindak tidak ada atau ditiadakan, yaitu antara lain:
 Usia dibawah umur 9 tahun.
 Usia antara umur 9-15 tahun, tetapi masih belum dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk.
Dari batas umur yang diuraikan dalam beberapa KUHP diatas , perlu diadakan pengkajian yang mendalam dalam rangka penyusunan KUHP Nasional yang akan datang.
2. Pengaturan dalam Naskah Rancangan KUHP 1993.
SEBAB-SEBAB KENAKALAN REMAJA
Anggota kelompok di dalam masyarakat biasanya terdiri dari berbagai macam individu yang berbeda-beda dalam beberapa segi. Mereka tua-muda, kaya-miskin, pejabat tinggi dan orang awam. Dalam kenyataan sering terjadi hubungan individu dengan individu atau individu atau individu dengan kelompok mengalami ketegangan disebabkan karena terdapat seorang anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengganggu orang lain. Pelanggaran hak orang lain di dalam masyarakat sering dilakukan oleh anak remaja antara lain:
a. Delik-delik yang melanggar orang lain yang bersifat kebendaan, seperti pencurian, penggelapan dan penipuan.
b. Delik-delik yang menghilangkan nyawa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
c. Perbuatan-perbuatan lain yang berupa delik hukum, maupun yang berupa perbuatan anti sosial seperti gelandangan, pertengkaran, bergadang sampai larut malam.
PENGATURAN DALAM NASKAH RANCANGAN KUHP 1993
1. PIDANA UNTUK ANAK
Dalam pasal 99 Naskah Rancangan KUHP (baru), kemungkina yang dapat dijatuhkan terhadap seorang anak (12-18 tahun) yang melekukan suatu tindak pidana dapat disebutkan jenis-jenis pidana yang ditentukan bafi anak, yaitu:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri dari:
a) Pidana Nominal:
I. Pidana peringatan.
II. Pidana teguran keras.
b) Pidana Dengan Syarat:
I. Pidana pembinaan diluar lembaga.
II. Pidana kerja sosial
III. Pidana pengawasan
c) Pidana Denda.
d) Pidana Pembatasan Kemerdekaan:
I. pembinaan didalam lembaga.
II. Pembayaran ganti rugi.
III. Pidana tutupan.
(2) Pidana Tambahan
a. Perampasan barang-barang tertentu.
b. Pembayaran ganti rugi.
Dalam pasal 106 (3)Nasrun KUHP diatur tentang pengurangn pidana pembatasan kebebasan, yang dikenakan kepada anak adalah paling lama seperdua dari maksimum pidana penjara yang diancam terhadap orang dewasa.
2. PENINDAKAN
Selain yang telah disebutkan diatas (12-18 tahun), menurut pasal 111 ayat (1) Naskah Rancanan KUHP disebutkan bahwa:
“hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan tindakan kepada anak berupa”
* Perawatan di RS Jiwa.
* Penyerahan terhadap pemerintah.
* Penyerahan kepada seseorang.
Tindakan sebagaimana dimakhsud diatas dapat dijatuhkan dalam hal:
 Anak melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atau
 Anak kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Baik a. maupun b. disebabkan adanya keadaan-keadaan sebagai berikut:
* Menderita gangguan jiwa
* Penyakit jiwa
* Retardasi mental
3. KEBIJAKAN
Selanjutnya dalam pasal 111 ayat 2 Naskah Rancangan KUHP (baru) dikatakan:
“Hakim dapat menjatuhkan kebijakan atau tindakan bersama-sama tanpa menjatuhkan pidana pokok bagi anak, berupa:

a. Pengembalian kepada orang tuanya atau walinya atau pengasuhnya.
b. Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang.
c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
d. Pencabutan SIM (surat izin mengemudi)
e. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari pidana.
f. Perbaikan akibat-akibat tindak pidana.
g. Rehabilitasi.
h. Perawatan didalam suatu lembaga.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP adalah: sistem pertanggung jawaban yang menyatakan bahwa semua anak (berusia 1 hari -16 tahun), asal jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.
2. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh Nasran KUHP adalah: sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak yang berusia kurang dari 12 tahun, tidak dapat atau dianggap tidak mampu bertanggung jawab dan oleh karenanya tidak dapat dituntut. Selanjutnya terhadap seorang anak berusia 12-18 tahun, yang melakukan suatu tindak pidana, dapat dilakukan penuntutan dan kemungkinan yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam penyelesaian perkaranya diatur secara khusus. Dalam hal ini dapat berupa lembaga pemidanaan dengan sistem pengurangan pidana, lembaga penindakan dan lembaga kebijakan tanpa menjatuhkan pidana pokok.

Selengkapnya »»
Category: 0 komentar
Hak Cipta @ 2006-2010 Jefri_ elFatih

Blog List

Kalender Hijriah

Kata Bijak

Kita tidak bisa mengubah arah angin tetapi kita bisa mengubah arah sayap kita

Jam

Labels