buku mantap ne

buku mantap ne
Kisah orang gede

Penelusuran

Jefri_elFatih. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Pidana Anak Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif

A. PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
1. Hukuman Pokok
Didalam islam telah ditetapkan hukum-hukum yang berkaitan tentang kemaslahatan manusia diantaranya yaitu mangatur tentang hukuman bagi orang yang mempermainkan agama. Orang yang mempermainkan agama (dalam hal ini adalah murtad) dijatuhkan hukuman jarimah riddah. Hukuman pokok untuk jarimah riddah adalah hukum mati dan statusnya sebagai hukuman had. Hal ini didasarkan hadis Nabi saw:
Dari Ibn Abbas ra. Ia berkata: Telah bersabda Rasulullah saw.: “Barang siapa yang menukar agamanya maka bunuhlah ia”. (Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhari).
2. Pendapat para imam Madzhab
Didalam menangani sebuah kasus yang dilakukan oleh seorang anak yang belum bisa berfikir secara sempurna, maka diperlukan argumen argumen untuk dapat memutuskan perkara perkara tersebut secara bijak dan seeuai dengan koridor yang digariskan Islam. Berikut adalah pendapat pendapat para Imam Madzhab:
a. Imam Abu Hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak mumayiz yang murtad tidak dihukum mati dalam empat keadaan sebagai berikut.
a. Apabila Islamnya mengikuti kedua orang tuanya, dan setelah balig ia murtad. Dalam hal ini menurut qiyas, seharusnya ia dibunuh, tetapi menurut istihsan ia tidak dibunuh karena syubhat.
b. Apabila ia murtad pada masa kecilnya.
c. Apabila ia pada masa kecilnya Islam, kemudian setelah balig ia murtad. Dalam hal ini ia tidak dibunuh, berdasarkan istihsan, karena ada syubhat.
d. Apabila ia berasal dari negeri bukan Islam, yang ditemukan di negeri Islam. Dalam hal ini ia dihukumi sebagai anak Islam, karena mengikuti negara (Islam), sama halnya dengan anak yang dilahirkan di lingkungan kaum muslimin.
Sebagai pengganti dari hukuman mati yang tidak diterapkan kepada anak mumayiz dalam keempat keadaan tersebut, menurut Imam Abu Hanifah, ia dipaksa untuk menyatakan Islam, seperti halnya perempuan, dengan jalan ditahan atau dipenjara sebagai ta’zir.
b. Imam Malik
Menurut Imam Malik, anak mumayiz yang murtad harus dihukum bunuh apabila ia murtad setelah baligh, kecuali:
1) Anak yang menanjak remaja ketika ayahnya masuk Islam;
2) Anak yang ditinggalkan kepada ibunya yang masih kafir, baik ia (anak tersebut) sudah mumayiz atau belum.
Dalam dua keadaan ini, ia tidak dibunuh, melainkan dipaksa untuk kembali kepada Islam, dengan dikenakan hukuman ta’zir. Menurut mazhab yang lain, anak mumayiz tetap dihukum mati apabila setelah balig ia menjadi murtad. Dalam hal ini, statusnya disamakan dengan laki-laki atau wanita yang murtad.
Sesorang dianggap murtad apabila ia berakal sehat. Dengan demikian, orang yang tidak berakal pernyataan murtadnya tidak sah, seperti orang gila, tidur, sakit ingatan, mabuk karena barang yang mubah, atau anak kecil yang belum tamyiz, yang akalnya belum sempurna. Adapun pernyataan murtad dari anak kecil mumayiz (berakal) diperselisihkan oleh para fuqaha.
Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Muhammad, baligh (dewasa) bukan merupakan syarat untuk sahnya murtad. Dengan demikian murtadnya anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) hukumnya sah. Imam Abu Yusuf murid Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa anak kecil yang belum baligh riddahnya tidak sah. Pendapat Imam Abu Hanifah diikuti oleh Imam Malik dan sebagian Hanabilah, sedangkan sebagian ulama Hanabilah yang lain mengikuti pendapat Imam Abu Yusuf. Imam Abu Hanifah dan kawan-kawan beralasan bahwa anak yang mumayiz apabila menyatakan Islam hukumnya sah, demikian pula sebaliknya, apabila ia menyatakan murtad, hukumnya juga sah. Hal ini karena iman dan kafir kedua-duanya merupakan perbuatan nyata yang keluar dari hati sebagai salah satu anggota badan. Pengakuan dari anak kecil yang sudah berakal (mumayiz) menunjukkan adanya kedua hal tersebut (iman dan kufur). Akan tetapi, Imam Abu Yusuf berargumentasi (beralasan) bahwa akal anak kecil dalam tasarruf yang betul-betul merugikan, dianggap tidak ada. Oleh karena itu, anak kecil talaknya tidak sah. Demikian pula memerdekakannya, dan pemberiannya, termasuk murtadnya, juga tidak sah, karena murtad termasuk tindakan yang merugikan. Adapun pernyataan iman dari anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, karena iman termasuk tindakan yang betul-betul menguntungkan. Itulah sebabnya, menurut Imam Abu Yusuf, Islamnya anak kecil (mumayiz) hukumnya sah, tetapi murtadnya tidak sah.
c. Imam Syafi’i
Menurut fuqaha Syafi’iyah, murtadnya anak kecil dan Islamnya hukumnya tidak sah. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Zufar dari pengikut mazhab Hanafi, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah. Mereka beralasan dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i, Ibn Majah, dan Hakim dari Aisyah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
“Dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dan dari orang gila sampai ia sembuh, serta dari anak kecil sampai ia dewasa”.
Meskipun demikian, kelompok Syafi’iyah tetap mengakui keislaman anak kecil, karena ia mengikuti kedua orang tuanya atau salah satunya yang masuk Islam.
Adapun anak dari orang yang murtad, baik yang murtad itu bapaknya atau ibunya atau kedua-duanya, hukumnya tetap anak muslim. Setelah mereka dewasa dan tetap dalam keIslamannya maka ia betul-betul muslim. Akan tetapi, apabila setelah dewasa mereka kafir maka mereka (anak-anak) itu termasuk murtad, dan kepada mereka diberlakukan ketentuan-ketentuan orang yang murtad. Adapun anak yang dikandung dan dilahirkan oleh orang yang murtad maka ia duhukumi sebagai anak kafir, karena kedua orang tuanya kafir.
Menurut Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Zhahiriyah, dan Syi’ah Zaidiyah, apabila seorang ibu atau bapak masuk Islam maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi Islam, karena ia mengikuti orang tuanya. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anak mengikuti agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya masuk Islam maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi apabila ibunya masuk Islam, sedangkan bapaknya tidak maka anaknya tetap kafir, karena anak mengikuti bapaknya, tidak mengikuti ibunya.

3. Hukuman pengganti
Hukuman pengganti untuk jarimah riddah berlaku dalam dua keadaan sebagai berikut:
a. Apabila hukuman pokok gugur karena tobat.
b. Apabila hukuman pokok gugur karena syubhat.

4. Hukuman tambahan
a. Penyitaan atau perampasan harta
b. Berkurangnya kecakapan untuk melakukan tasarruf

B. PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
Didalam menentukan tindak pidana, terdapat klarifikasi mengenai usia, yaitu:
1. Batas Umur Anak yang Belum Dewasa.
Menurut pasal 45 KUHP, “ penuntutan pidana tidak dapat dilakukan terhadap seseorang yang belum dewasa (sebelum usia 16 tahun), jika bersalah melakukan tindakan pidana.” Dengan demikian pengertian dewasa adalah kebalikan dari apa yang disebutkan dalam pasal tersebut, yaitu yang sudah berumur 16 tahun keatas.
Menurut pasal 96 Nasran KUHP 1993, yang dimaksud dengan anak yang dapat dipertanggung Jawabkan pidana adalah yang berumur 12 tahun keatas, sedangkan anak yang berusia kurang dari 12 tahun tidak dapat dipertanggung jawabkan tindak pidana atas tindakan atau perbuatannya yang bertentangan dengan hukum pidana.
Dalam rangka pembicaraan batasan usia anak ini, sebagai bahan perbandingan, disini dikemukakan tentang ketentuan dalam pasal 12 KUHP Philipina, yang menyatakan adanya peniadaan pidana karena kesalahan petindak tidak ada atau ditiadakan, yaitu antara lain:
 Usia dibawah umur 9 tahun.
 Usia antara umur 9-15 tahun, tetapi masih belum dapat membedakan antara yang baik dengan yang buruk.
Dari batas umur yang diuraikan dalam beberapa KUHP diatas , perlu diadakan pengkajian yang mendalam dalam rangka penyusunan KUHP Nasional yang akan datang.
2. Pengaturan dalam Naskah Rancangan KUHP 1993.
SEBAB-SEBAB KENAKALAN REMAJA
Anggota kelompok di dalam masyarakat biasanya terdiri dari berbagai macam individu yang berbeda-beda dalam beberapa segi. Mereka tua-muda, kaya-miskin, pejabat tinggi dan orang awam. Dalam kenyataan sering terjadi hubungan individu dengan individu atau individu atau individu dengan kelompok mengalami ketegangan disebabkan karena terdapat seorang anggota kelompok di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya mengganggu orang lain. Pelanggaran hak orang lain di dalam masyarakat sering dilakukan oleh anak remaja antara lain:
a. Delik-delik yang melanggar orang lain yang bersifat kebendaan, seperti pencurian, penggelapan dan penipuan.
b. Delik-delik yang menghilangkan nyawa orang lain, seperti pembunuhan dan penganiayaan yang menyebabkan hilangnya nyawa orang lain.
c. Perbuatan-perbuatan lain yang berupa delik hukum, maupun yang berupa perbuatan anti sosial seperti gelandangan, pertengkaran, bergadang sampai larut malam.
PENGATURAN DALAM NASKAH RANCANGAN KUHP 1993
1. PIDANA UNTUK ANAK
Dalam pasal 99 Naskah Rancangan KUHP (baru), kemungkina yang dapat dijatuhkan terhadap seorang anak (12-18 tahun) yang melekukan suatu tindak pidana dapat disebutkan jenis-jenis pidana yang ditentukan bafi anak, yaitu:
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri dari:
a) Pidana Nominal:
I. Pidana peringatan.
II. Pidana teguran keras.
b) Pidana Dengan Syarat:
I. Pidana pembinaan diluar lembaga.
II. Pidana kerja sosial
III. Pidana pengawasan
c) Pidana Denda.
d) Pidana Pembatasan Kemerdekaan:
I. pembinaan didalam lembaga.
II. Pembayaran ganti rugi.
III. Pidana tutupan.
(2) Pidana Tambahan
a. Perampasan barang-barang tertentu.
b. Pembayaran ganti rugi.
Dalam pasal 106 (3)Nasrun KUHP diatur tentang pengurangn pidana pembatasan kebebasan, yang dikenakan kepada anak adalah paling lama seperdua dari maksimum pidana penjara yang diancam terhadap orang dewasa.
2. PENINDAKAN
Selain yang telah disebutkan diatas (12-18 tahun), menurut pasal 111 ayat (1) Naskah Rancanan KUHP disebutkan bahwa:
“hakim dalam putusannya dapat menjatuhkan tindakan kepada anak berupa”
* Perawatan di RS Jiwa.
* Penyerahan terhadap pemerintah.
* Penyerahan kepada seseorang.
Tindakan sebagaimana dimakhsud diatas dapat dijatuhkan dalam hal:
 Anak melakukan tindak pidana yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atau
 Anak kurang dapat dipertanggungjawabkan.
Baik a. maupun b. disebabkan adanya keadaan-keadaan sebagai berikut:
* Menderita gangguan jiwa
* Penyakit jiwa
* Retardasi mental
3. KEBIJAKAN
Selanjutnya dalam pasal 111 ayat 2 Naskah Rancangan KUHP (baru) dikatakan:
“Hakim dapat menjatuhkan kebijakan atau tindakan bersama-sama tanpa menjatuhkan pidana pokok bagi anak, berupa:

a. Pengembalian kepada orang tuanya atau walinya atau pengasuhnya.
b. Penyerahan kepada pemerintah atau seseorang.
c. Keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta.
d. Pencabutan SIM (surat izin mengemudi)
e. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari pidana.
f. Perbaikan akibat-akibat tindak pidana.
g. Rehabilitasi.
h. Perawatan didalam suatu lembaga.
Berdasarkan hal-hal yang diuraikan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
1. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh KUHP adalah: sistem pertanggung jawaban yang menyatakan bahwa semua anak (berusia 1 hari -16 tahun), asal jiwanya sehat, dianggap mampu bertanggung jawab dan dapat dituntut.
2. Sistem pertanggung jawaban pidana anak yang dianut oleh Nasran KUHP adalah: sistem pertanggungjawaban yang menyatakan bahwa semua anak yang berusia kurang dari 12 tahun, tidak dapat atau dianggap tidak mampu bertanggung jawab dan oleh karenanya tidak dapat dituntut. Selanjutnya terhadap seorang anak berusia 12-18 tahun, yang melakukan suatu tindak pidana, dapat dilakukan penuntutan dan kemungkinan yang dapat dijatuhkan oleh hakim dalam penyelesaian perkaranya diatur secara khusus. Dalam hal ini dapat berupa lembaga pemidanaan dengan sistem pengurangan pidana, lembaga penindakan dan lembaga kebijakan tanpa menjatuhkan pidana pokok.

Category: 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar

Hak Cipta @ 2006-2010 Jefri_ elFatih

Blog List

Kalender Hijriah

Kata Bijak

Kita tidak bisa mengubah arah angin tetapi kita bisa mengubah arah sayap kita

Jam

Labels