buku mantap ne

buku mantap ne
Kisah orang gede

Penelusuran

Jefri_elFatih. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengikut

Sebab Sebab Perbedaan di Dalam Hukum Islam

A. Pengertian perbedaan pendapat
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf, secara lingusitik dalam kajian bahasa Inggris, dapat diterjemahkan beraneka ragam, difference of opinion, distinction atau controvercy. Akan tetapi, jika disimak secara mendalam, kata contovercy lebih tepat.
Dalam bentuk bahasa Arab, kata Ikhtilaf diambil dari kata Khalafa yang berarti berpisah, perselisihan. Menurut istilah, Thaha Jabir menjelaskan, Ikhtilaf adalah proses yang dilalui dengan metode yang berbeda antara seorang dan yang lainnya dalam bentuk perbuatan atau perkataan.
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata ikhtilaf atau khilaf. Perbadaan pendapat dalam fiqh merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal fikiran, karena bila diitinjau dari sebab-musababnya secara global, perbedaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang diseebabkan oleh akal fikiran. Perbedaan yang diseebabkan moral itu biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti su’u dzon dengan orang lain, fanatik buta terhadap pendapat seseorang atau madzhab dan golongan tertent. Ini tergolong ikhtilaf yang buruk dan tercela .
Adapun perbedaan yang disebabkan akal fikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang Syari’at Islam, atau bersifat akidah, politik, dan lain-lain. Perbedaan pandangan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal, seperti lingkungan, zaman, situasi dan kondisi, baik bersifat positif atau negatif.
Maka perbedaan dalam fiqh merupakan sesuatu hal yang pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam ddan kehidupan. Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki bersatunya semua orang dalam satu pendapat di bidang hukum-hukum ibadah, muamalah dan lain-lain dari cabang agama Islam, maka berarti ia menginginkan sesuatu hal yang mustahil terjadi. Bahkan perbedaan dalam fiqh ini dianggap rahmat oleh mayoritas ulama dengan merujuk salah satu hadist Nabi SAW yang dikeluarkan Imam al-Suyuthi dalam “al-Jami’ al-Shogir” : ”ikhtilafu ummati rahmah” (perbedaan antar umat-umatku adalah suatu rahmat).
Ikhtilaf fiqhi ini, tidak hanya dianggap sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqh itu sendiri di masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya.
Namun sayang ada sebagian kelompok umat Islam yang tidak mengetahui hal ini atau pura-pura tidak mengetahuinya. Mereka tidak menganggap perbedaan umat Islam sebagai rahmat; mereka mengklaim bahwa kelompok dan ibadah mereka yang paling benar; mereka membid’ahkan ibadah kelompok lain, mencacinya, mengkritiknya bahkan mengkafirkannya; mereka menganggap dirinya sebagai satu-satunya kelompok ahlus sunnah wal jama’ah yang sesuai dengan ulama salaf (lampau), sehingga mereka menamakan dirinya dengan Jama’ah Salafiyah atau Kaum Salafi .
B. Sebab-sebab terjadinya Ikhtilaf
Dalam hukum kausalitas, ”ada sebab, ada akibat”. Begitu pula, dalam Ikhtilaf. Tidak mungkin ada Ikhtilaf, jika tidak ada penyebabnya. Dalam hal ini, penyebab itu adalah faktor-faktor yang mempengaruhi para ulama dalam menggali hukum Islam sehingga berbeda dengan ulama lainnya.
Karena sumber hukum Islam pada masa sahabat sepeninggalan Nabi SAW adalah al-Qur’an, Sunnah, dan ijtihad Sahabat (termasuk bagian dalam Ijtihad ialah Qiyas, Ra’yu dan Ijma’ ), maka sebab-sebab perbedaan pendapat di kalangan Ulama juga dapat dikempokkan menjadi tiga kategori:
1. al-Qur’an
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang diakibatkan sumber pertama ini, antara lain karena sebagai berikut:
 sebab adanya kontadiksi antar sesama nash-nash al-Qur’an dan adanya upaya Ulama’ untuk mencegah pertentangan itu (dengan ijtihad tentunya), seperti perbedaan ‘Iddahnya wanita hamil yang ditinggal mati suaminya.
 Disebabkan karena perbedaan dalam memahami ayat-ayat mujmal (global), seperti perbedaan ‘Iddahnya wanita yang ditalaq dalam keadaan haid.
 Disebabkan karena sebahagian sahabat terkonsentrasi dengan zahirnya teks atau nash (tekstual), sedangkan yang lainnya lebih memilih makna yang tersirat (kontekstual), seperti perbedaan pendapat antara Ibn Abbas dan Zaid Ibn Tsabit dalam hal waris.
 Sebab sebagian sahabat berhenti pada zahirnya nash-nash umum dan tidak menemukan atau menganggap nash lain sebagai peng-takhshish-nya, sedangkan yang lain menemukannya.
 Sebab perbedaan pendapat dalam memahami suatu struktur kalimat dalam nash-nash al-Qur’an yang memiliki dua aspek pengertian.
2. As-Sunnah
Adapun sebab-sebab perbedaan pendapat ulama dalam menyikapi Sunnah-sunnah Rasul saw, baik qauliyah, fi’liyah, taqririyah atau hammiyah sebagai sumber hukum dapat dikelompokkan menjadi enam faktor penyebab , yaitu:
 Sampainya suatu hadist (hukum atau fatwa) kepada sebagian sahabat, sedangkan yang lain tidak, maka ia akan berijtihad dengan ra’yu-nya. Jika demikian, ada empat akibat, yaitu (a) Ijtihadnya akan sama dengan hukum asli. (b) ulama akan Taroju’ (menarik kembali fatwa ijtihadnya). (c) bertentangnya hasil Ijtihad dengan hadist yang baru didengarnya. (d) tidak sampai kepadanya hadist sama sekali atau tidak mendengar bantahan ijtihadnya dari sahabat yang lain yang memiliki bukti hadist tertentu.
 Antara mereka sama-sama melihat perbuatan Nabi SAW (hadist Fi’liyah), namun sebagian mereka menganggap perbuatan Nabi SAW itu sebagai qurbah atau kesunnahan dan sebagian yang lain hanya mubah.
 Karena lalai atau lupa akan sunnah yang didengar atau dilihatnya.
 Perbedaan persepsi antara mereka dalam memahami perkataan-perkataan Nabi SAW (sunnah Qauliyah).
 Perbedaan dalam menentukan illat hukum suatu Sunnah.
 Perbedaan pemahaman dalam menyikapi beberapa sunnah yang saling kontradiktif.
 Perbedaan kuantitas dan kualitas hafalan sunnah-sunnah Nabi diantara para Ulama
3. Ijtihad
Ijtihad yang dilandaskan pada pemakaian ra’yu untuk menyempurnakan ijtihad fiqh yang berlangsung pada periode ini tidak bias terelakkan, karena nash-nash sangat terbatas sedangkan peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu banyak, tidak berhentikan sebatas nash yang ada, sehingga sahabat harus mengembalikan permasalahan-permasalahan itu kepada arahnya (yang baru), agar diperoleh hukum kebenaran. Mereka melakukan itu dengan mencari petunjuk melalui tujuan-tujuan syara’ yang universal (maqashid al-Syari’ah al-‘Ammah) serta prinsip-prinsip umum (mabadi Kulliyah).
Sebab-sebab perbedaan pendapat yang melalui pintu Ijtihad dengan ra’yu ini tidak bias dilepaskan dari perbedaan yang ada antara mereka, berbagai hal termasuk ra’yu-nya atau pandangan intelektualitasnya yang sangat dipengaruhi oleh akal, kepribadian, keluarga, dan lingkungannya. Yang samuanya ini diilhami oleh ijtihadnya Nabi saw sendiri dan pemahaman mereka akan maqashid syari’ah juga keshahihan atau kejelian pandangan mereka terhadap mashlahat manusia, sehingga mereka tidak mungkin keliru dalam memandang suatu kemaslahatan. Ikhtilaf antara mereka dalam berijtihad bermuara pada masalah-masalah yang tidak terdapat nash yang pasti, kemudian mereka menetapkan hukumnya dengan mengqiyaskan kepada sesuatu yang manshush (mempunyai nash ) atau memasukkannya ke dalam kaidah umum atau dengan memperhatikan kemaslahatan manusia yang di ketahui dan diyakini mereka bahwa syara’ sangat memberi perhatian dan selalu menjaga kemaslahatan itu.
Di antara sahabat Nabi saw yang pandai dan terkenal dalam mengunakan ra’yunya (ijtihad) adalah Ali bin abi Thalib, Abu Bakar,Umar bin Khotob,Ustman bin Affan,abdullah bin mas,ud,Zaid bin Tsabit,Mu’az bin Jabal ban lain-lain.

Selain tiga faktor diatas, juga terdapat sebab yang lain , yaitu:
>Perbedaan Qawa’id Ushuliyya
Sebab-sebab yang yang berkaitan dengan kaidah-kaidah ushul diantaranya mengenai istisna,yakni:
Jumhur Fuqaha berpendapat,bahwa istisna(pengecualian) itu kembali kepada keseluruhannya. Sedangkan menurut Abu Hanifah,istisna itu hanya kembali kepada jumlah terakhir saja.
Bagi yang berpendapat bahwa istsna itu kembali kepada jumlah terakhir saja, maka bila orang itu telah bertaubat tidak lagi dinyatakan fasik, dan tetap harus didikenakan hukuman dera dan belum bisa dijadikan saksi. Adapun yang berpendapat kedua,yang menyatakan bahwa istisna kembali kepada semuanya,orang yang sudah taubat itu tidak lagi inyatakan fasik,dan juga juga dikembalikn haknya untukmenjadi saksi;tetapi masih tetap dihukum dera, karena hukuman dera ini menyangkut hak adami (manusia) yang tidak bisa diguguran dengan taubat.



Category: 1 komentar

1 komentar:

Kiki Firmansyah mengatakan...

keren tempalatenya

Posting Komentar

Hak Cipta @ 2006-2010 Jefri_ elFatih

Blog List

Kalender Hijriah

Kata Bijak

Kita tidak bisa mengubah arah angin tetapi kita bisa mengubah arah sayap kita

Jam

Labels